Maaf, sapaanku di surat kali ini kupanggil kau "Tuan", tak apa? Karena sungguh, aku tak tahu harus memanggilmu apa. Nyatanya jika dihitung dengan angka, kau kini lima-tahun-mendatangku.
Benarkah lima tahun? Bukan kuragu, hanya mempersilakanmu datang tanpa diburu waktu. Tak ada yang akan sempurna jika terburu. Juga, tak ada yang suka diburu-buru, benar? :)
Seperti di pucuk sebelumnya, akan kembali kutanya kabarmu. Kali ini, apa kabarmu, Tuan? Kuharap primamu di segala kondisi tentu saja.
Impian dan cita-citamu tak menunggu, jangan berhenti. Kau lebih hebat dari yang kau pikir, jangan khawatir.
Kuselipkan lancarmu dalam doa akhir sujudku. Pun kau jangan lupa bersujud demi lancarmu, Tuan. Tak ada yang lebih baik dari ikhtiar keras yang diiringi dengan doa lembut, bukan? :)
Sebelum tanganku bisa gapai, tolong perhatikan sehatmu sendiri. Mengabaikan sehatmu sama dengan mengabaikan masa depanmu, tahu?
Tak muluk-muluk, kuharap kau makan teratur dan tak sering begadang. Aku tahu kau pekerja keras, namun selipkan olah raga di jadwal sibukmu akan baik.
Akan kubayar permintaanku ini dengan kesediaan menjaga sehatmu di hari yang kita sama-sama nantikan. Sajikan menu sehat dengan kesediaan temanimu menyantap, juga berolahaga dengan kesediaan lakukannya bersama.
Menyenangkan? Kuharap. :)
Tuan, bagaimana hari-harimu? Adakah yang menemani? Tak usah ragu, katakan saja jika ada.
Justru aku akan senang kau tak merasa sendiri. Paling tidak, sebelum aku yang tak akan bosan melakukannya setiap hari nanti, ada yang bersedia dengarkan keluhmu saat ini.
Pintaku, tolong perlakukan dia sebaik yang kau sanggup. Tak ada ayah yang inginkan putri kecilnya tidak diperlakukan selayaknya putri. (Kau tahu apa yang kumaksud putri di sini). Begitu pun denganmu kepada putri kecil kita kelak, bukan? :)
....
....
Bagaimana denganku?
Ah.... Bolehkah kujawab dengan "Aku rindu padamu"...?
Bahkan kita belum pernah bertemu? Jangan tertawa....
Aku rasa detik ini (atau akhir-akhir ini) aku benar rindu padamu.
Kuberitahu, aku tidak sedang memulai cerita sedih, tenang saja.
Sungguh, detik ini (dan akhir-akhir ini) aku sedang sangat akrab dan nyaman dengan kesendirian. Aku mulai suka dengan perasaan tidak "dimiliki" oleh siapa pun.
Lakukan apa pun yang ingin kulakukan, siapa yang larang? Jumpa dengan siapa pun yang ingin kujumpa, siapa yang marah? Menyenangkan.
Mungkin ada yang kira ini penyangkalan, silakan, nyatanya ini yang benar-benar sedang kurasakan.
Hingga, kurasa tak ada yang perlu atau harus kurindukan saat ini (selain kamu).
Bodoh? Biar saja. Toh bodohku tak pernah kugunakan untuk membodohi orang lain.
....
Ya, kau boleh menasihatiku untuk tidak membiarkan hati semakin dingin. Tapi kau tahu, ini aku. Ini aku yang semakin usia semakin tak mengerti bagaimana itu.... jatuh cinta.
Yang semakin kumengerti, rindu bagian dari cinta, namun rindu bukan berarti cinta. Kenyataan ironis bahwa yang kupahami justru hal ironis. Hingga, kau tahu? Kenyataan ironis lain aku setidak mampu itu bedakan "terbiasa", "butuh", "ingin", dan "cinta".
Jangan tersenyum pahit begitu, aku tidak putus asa, justru menjadi semakin penasaran bagaimana rasanya bertemu denganmu nanti.
Ya, aku tak sabar dibuat jatuh cinta (lagi?).
Tak sabar dibuat memuja satu makhluk Tuhan.
Tak sabar dibuat rindu walau hanya sedetik tak temu.
Tak sabar dibuat benci karena saking peduli.
Tak sabar dibuat haru tanpa dibuat biru.
Pun tak sabar dibuat terus senyum bak orang yang terlalu banyak minum.
Tak sabar berdiskusi berbagi pandangan karena wawasanmu yang kupuja.
Tak sabar mengenyangkan isi kepala karena intelektualmu yang menaklukkan.
Tak sabar menjadi aku, yang selalu benar-benar menjadi aku, ketika di samping kamu yang tak ragu menjadi benar-benar kamu ketika di sampingku.
Tak sabar menceritakan hari selelah dan serumit apapun isi kepala, karena hanya dengan berbincang saja terasa menenangkan juga menyenangkan.
Juga tak sabar bersujud penuh syukur akan kehendak-Nya menghadirkan kita yang aku dan kamu.
Aku tak bilang hanya kau yang bisa lakukan.
Mungkin ada yang lain, mungkin.
Tak menutup mungkin, dalam perjalanan menemukanmu aku menemukan ia yang bisa lakukan.
Atau tak menutup mungkin, ia yang kutemukan diperjalananku itu sebenarnya kamu.
Bagaimanapun mungkin yang ada, satu yang pasti, tak ada yang akan seindah ketika kurasakan denganmu, nanti.
Hingga kusimpulkan, jika kesendirian kini adalah ujian untukku agar aku lebih bisa menjaga kehadiranmu nanti, maka akan kulakukan dengan lebih senang hati. Walau aku tahu, “nanti” itu tak pasti.
Jangan terburu-buru.
Aku hanya rindu.
Sampai bertemu!
Tertanda,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar