Selasa, 25 Juni 2013

Apa Kabar?

Kamu, tujuh-tahun-mendatangku,
Ah, lama, ya, tak bincang lewat kata. Kabar baikkah?
Ya, tertawa saja jika kutanya kabar. Tak apa pula, bukan, jika kini tak tahu-menahu kabar? Toh, romantis bukan bisikkan kabar tiap saat, cukup saling pinta dalam diam agar dijadikan satu saat siap nanti. Namun, tetap saja terus kuharap primamu di setiap waktu. Baik-baik, kumohon.

Kamu, yang ternyata-mungkin-lebih-atau-bahkan-kurang-dari-tujuh-tahun-mendatangku,
Bagaimana kau lewati harimu? Bagaimana usaha gapai (aku yang) masa depanmu? Berat, ya? Tak pernah ada yang katakan itu akan mudah jika perihal yang mendatang. Namun, ingat, yang mendatang menanti. Jangan pernah nikmati tiap jatuhmu. Terus berjuang, kumohon.
Bayangan tentang yang mendatang jadikan saja semangatmu.
Miliki selalu pelukan di tengah hingar bingar perseteruan isi pikiran.
Miliki selalu genggam yang menguatkan, bukan melepaskan.
Miliki selalu hati yang mengerti, tidak memaksakan.
Miliki selalu dekap yang tak pernah membiarkan, tapi mengiringi sampai tujuan.
Pun ingat, miliki selalu senyum yang menjadi hangat sekaligus sejuk.
Saling memenangkan. Saling menyelamatkan.
Masa yang menyenangkan. Masa yang menenangkan. (Amien)

.....
Maaf, tadi kau bergumam apa? Aku sendiri bagaimana?
Pun di sini sama: tak mudah. Namun, entah, manjakan lelah juga jenuhku tak pernah lebih menggiurkan dari perjuangkan masa depanku (yang ada kamu).
Kerahkan seluruh kemampuan 'tuk cipta kemampuan yang lebih pantas.
Biarkan dulu saja lah aku. Semuanya untukmu, tahukah?
Murni bukan untukku berbangga, melainkan untukmu berbangga, setelah orangtuaku. Karena sungguhlah, kemampuan sebenarnya bukan ajang perempuan (sepertiku) untuk menyombongkan diri, tapi 'tuk menggandeng tangan laki-laki(ku) agar tak kerepotan sendiri. Karena masa depan sudah tentang dua orang, bukan?
Mengerti, ya, kumohon.

The woman is the reflection of her man.” — Brad Pitt
Bacanya buatku malu (dan tidak pantas). Entah, kamu yang (semoga) baik akhlak, hati, juga imannya, akan dikatakan apa jika berdamping aku? Bahkan aku akan bingung setengah mati jika Tuhan tetap pilihkan aku untukmu.
Akhlakku masih jauh dari sempurna, lalu bagaimana bisa aku dipilih Tuhan 'tuk jadi pendampingmu?
Bacaanku masih fiksi kacangan dan bukan Al-Qur'an, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tuntunan bagi anak-anakmu?
Tubuhku masih belum terjaga sempurna, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi rumah yang aman bagimu?
Hatiku masih penuh dengan iri pula angkuh, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi penyejuk hatimu?
Tanganku masih malas bantu sesama, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tangan kananmu bangun rumah tangga?
Telingaku masih suka dengar yang jahat, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi pendengarmu yang baik?
Lisanku masih suka banyak bicara pula berkata tak layak, lalu bagaimana mungkin aku pantas menjadi pelipur laramu?
Masih jauh perjalananku agar pantas menjadi pendampingmu. Bersabarlah, kumohon.
Mari anggap ini menyenangkan, menunggu janji-Nya yang tak pernah ingkar, dalam usaha menjadi ikhlas dan taat.
Aku hanya harap, semoga kita ada dalam satu ego nanti: ingin saling memiliki, selamanya.

Sungguhlah, bukan aku diam, Dia tahu betapa aku selalu ribut dan berisik memintamu dalam sujud panjang di akhir rakaat.
Pun bukan aku diam, hanya saja takdir masih menuntut kita 'tuk berjalan lebih lama.

Kau pun tahu, menemukan hanyalah perihal waktu.
Namun, keyakinan justru yang nyatanya bukan perkara waktu. Keyakinan bahwa masing-masing adalah yang terbaik untuk masing-masing.
Karena pada akhirnya hidup memang hanya perihal mencari jalan terbaik menuju mati, juga yang terbaik sebelum mati.
Sekarang kutanya, apa yang ingin kau capai dalam hidup?
.....
.....
Kalau aku, jadi yang kau gapai sebelum mati. :)

Sekian dulu, sudah larut. Selamat tidur, Tuan.
Aku akan sedia di sisi ragamu suatu masa, setiap lelapmu, pun terjagamu.
Dan jadilah satu yang kubangunkan Subuh-nya, lalu jadi Imamku, selamanya...


Tertanda, Rumahmu.

Bagian kedua dari "Tujuh Tahun"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar